Menjadi orang yang bahagia merupakan impian saya semenjak kecil. Saya ingin sukses, punya uang, kaya dan bisa membahagiakan orang tua saya. Dalam konsep saya, orang yang bahagia itu adalah orang yang memiliki uang banyak. Oleh sebab itu, saya berusaha untuk belajar dengan baik untuk menggapai cita cita ini, dan saya mendapatkan kesempatan ini ketika menjelang kelulusan SMA. Saya diterima masuk universitas di Sumatera Utara dengan jalur PMDK dan waktu itu saya berpikir, kuliah adalah pintu masuk kesuksesan saya. Akan tetapi pertemuan saya dengan salah seorang RSCJ mengubah pola pikir saya,
Suatu hari saya bertemu dengan salah seorang RSCJ yang berasal dari Jepang di Samosir. Pertemuan pertama yang menyadarkan saya arti kebahagiaan. Saya tersadar ketika beliau menjelaskan kehidupan komunitasnya di Indonesia ini, sederhana dan sangat dekat dengan dunia pendidikan orang miskin. Beliau bekerja dengan anak jalanan dan orang miskin dengan penuh cinta. Meskipun pernah ada anak jalanan yang memukulnya di stasion dan bahkan mencuri di biara, beliau tidak pernah mundur. Sifat sifat anak jalanan ini tidak menjadi penghalang untuk mereka dalam berkarya. Mendengar cerita Sr ini, saya merasa didorong untuk mengetahui “apa yang menguatkan beliau untuk melakukan ini?. Saya sangat yakin sumber kekuatan beliau, bukanlah keinginan untuk mencari harta, tetapi Tuhan.
Kesaksian hidup Sr ini, membuka mata hati saya tentang arti kebahagiaan sesungguhnya.
untuk apa saya berusaha mencari uang agar bahagia? Kalau ternyata Sr ini bisa bahagia tanpa meletakkan uang sebagai dasar hidupnya. Saya belajar dan ingin terus belajar dari pengalaman beliau ini, bahwa sumber kebahagiaan itu ada di dalam Tuhan bukan dalam harta duniawi. Tuhan tidak memberi kita kekayaan untuk membuat kita bahagia, tapi Tuhan pasti memberi kita hati untuk mencintai. Memberi cinta pada orang lain bukanlah membuat kita semakin miskin, tapi justru memperkaya kita. Selain itu, saya termotivasi melihat daya juang para misionaris RSCJ bagi masyarakat yang miskin di Indonesia. Kalau mereka orang luar negeri saja perhatian pada kemiskinan di Indonesia ini, mengapa saya tidak? Cara hidup RSCJ membuat saya sadar bahwa Allah juga memanggil saya untuk turut serta.
Sekarang tahun ke sembilan saya di RSCJ, saya terus belajar bagaimana itu mencintai, mencintai diri, orang lain, dan terlebih mencintai Tuhan sendiri. RSCJ mengajarkan saya apa itu kebahagiaan yang selama ini saya dambakan. Menurut RSCJ “Orang yang tidak bahagia adalah orang yang tidak bisa melihat diri dengan mata Tuhan. Oleh karena itu RSCJ sangat mendorong saya pertama tama untuk mencintai diri sendiri, untuk terima diri dengan tulus supaya saya bisa mencintai orang lain dengan segala kelebihan dan kekurangan mereka. Dalam RSCJ, sumber yang mengajarkan saya cinta adalah hati yang tertusuk tombak. Hati yang mengingatkan saya untuk lebih dekat pada orang yang terluka, yang menderita dan yang miskin akan kasih. Hati ini juga mengajarkan saya untuk bisa mengampuni mereka semua yang telah menggoreskan luka luka batin pada saya. Hanya Hati yang mau mengampuni dan bebas dari kebencianlah yang bisa merasakan apa itu hidup bahagia.
Akhirnya ini bukanlah kisah panggilan saya, tapi ini kisah Tuhan. Tuhanlah yang berinisiatif untuk lebih dekat dan memanggil saya. Tidak ada ucapan syukur yang lebih besar yang dapat saya ucapkan pada Tuhan selain syukur karena saya menjadi orang yang terpanggil dalam jalanNya. Kita semua juga dipanggil untuk hidup dekat pada Hati itu, hati yang terluka tapi yakinlah disana ada kebahagiaan yang total.
Oleh: Sr Henni Sidabungke, rscj